Terkenang November 2010: Menyamar ke Purworejo

16 November ini saya teringat tiga tahun yang lalu, tepatnya tanggal 20 November 2010. Saya pergi meninggalkan Jakarta menuju desa kelahiran Bapak saya di Purworejo, desa Ketangi. Hanya bermodalkan 300 ribu rupiah, saya nekad ke sana karena ingin sowan ke makam Bapak saya. Tahun 2008 bulan September, Bapak saya meninggal dan tahun 2010 ketika itu tepat dua tahun dua bulan kepergian Beliau.


Ditahun 2010 itu pemberlakuan pemesanan tiket secara online belum seperti sekarang. Tiket penumpang tanpa kursi untuk kereta api masih berlaku. Karena saya membeli tiket beberapa jam sebelum keberangkatan, maka saya pun kebagian tiket tanpa kursi alias tidak dapat duduk. Jadilah dari rumah sudah bekal koran untuk nanti didalam gerbong duduk dibawah. Pada masa itu, kereta ekonomi tanpa AC masih ada dan namanya kereta api Progo yang berangkat dari Stasiun Pasar Senen dengan pemberhentian terakhir Stasiun Lempuyangan. Kebayang kan bagaimana rasanya tidak dapat tempat duduk dan harus merasakan perjalanan dari Jakarta ke Jawa Tengah yang menghabiskan waktu kurang lebih 9 jam.
Saya masih ingat, malam itu kereta tiba di Stasiun Pasar Senen pukul 20.55 dan calon penumpang sangat-sangat ramai! Kebanyakan adalah mahasiswa yang habis liburan karena dari kampus untuk kegiatan perkuliahan ditiadakan disebabkan gunung Merapi sudah dua minggu batuk-batuk dan mengeluarkan wedhus gembel. Menurut kabar yang saya dengar, abunya bahkan sampai ke kota Purworejo.

Beristirahat Sejenak di Stasiun Jenar Setelah Turun dari Kereta Api
Singkat cerita, saya tiba di Stasiun Jenar. Waktu setempat menunjukkan pukul delapan lebih 20 menit karena kereta terlambat sekitar dua jam lebih. Saya sempat membeli mie instan didalam kereta dan saya baru memakannya ketika sudah turun di Stasiun. Ketika tiba disana, ya ini yang membuat saya selalu terkenang dan kangen: suasananya. Lama juga saya duduk-duduk disana untuk menikmati semilir angin dan hangatnya matahari pagi itu. Bau padi yang masih hijau, suara burung-burung yang terkadang diselingi suara kendaraan dari ujung perlintasan pintu kereta di ujung jalan.

Pertelon Pendowo
Oleh karena tujuannya adalah sowan ke makam Bapak saya, maka saya melanjutkan perjalanan lagi dengan rencana menggunakan angkutan umum. Dari Stasiun Jenar ke arah Pertigaan Pendowo. Turun disana, lalu melanjutkan naik angkutan umum yang ke arah Bagelen dan turun di pesarean Nyi Candi. Jadi ceritanya waktu itu adalah menyamar. Dikarenakan saya tidak mau mampir-mampir, maka saya mengenakan topi dan mengalungkan handuk kecil saya supaya tidak dikenali oleh warga sekitar.

Waktu pun cepat berlalu, maka saya bergegas ke makam. Ternyata abu merapi juga merambah di desa Ketangi. Sebenarnya saya sudah menyadari bahwa abu Merapi sampai didesa ini karena sepanjang perjalanan yang terlihat tanah-tanah menjadi berwarna putih karena tertutup abu vulkanik.

Menjejak Debu Merapi
Sekitar 30 menit kemudian saya tiba di makam Bapak. Saya berdoa, bicara seperlunya (walaupun saya tahu Bapak juga tidak mungkin menanggapi tapi maksud saya hanya sekedar menghormati dan curhat antara anak-Orangtua). Lalu kembali menuju pesarean Nyi Candi untuk mencari tiket pulang. Tak jauh dari pesarean Nyi Candi ada tempat penjualan dan pemberhentian bis Sumber Alam. Maka saya pun menggunakan jasa mereka untuk mengantar saya pulang ke Jakarta. Tapi sementara waktu menunggu pukul 16.30, hal yang bisa dilakukan adalah mencari makan terlebih dahulu.

Jam sudah menunjukkan pukul 11 menjelang siang dan perut saya belum terisi kecuali dengan mie instan tadi. Sehingga perjalanan menggunakan kaki berlanjut bahkan menyeberang jembatan besar melintasi sungai besar Bogowonto. Ketika sampai di pertigaan Bagelen, warung makan yang saya tuju adalah warung nasi Tongseng. Makan besar selesai menjelang Dzuhur dan sudah waktunya bagi saya untuk mencari tempat sholat alias masjid. Menggunakan angkot, saya menuju masjid pinggir jalan di desa Kerontakan yang bersebelahan dengan desa Ketangi. (Dimana pun dan pergi kemana pun, yang pertama saya cari adalah masjid. Selain sebagai tempat sholat, masjid juga bisa menjadi istirahat bila masjid memiliki teras yang memang sengaja disediakan bagi para musafir).


Sesampainya dimasjid, ternyata jamaahnya sepi. Hanya 3 orang dan mereka sudah berumur. Masjinya lumayan nyaman dan bersih sehingga saya bisa berdiam disana sambil menunggu waktu keberangkatan bis. Meskipun ngantuk karena semalaman belum tidur secara benar, tapi ya dalam hati ada rasa puas karena sudah sampai disana. Lucu sekaligus haru jika mengenang masa itu. Masa ketika selalu ada momen untuk dikenang. Tetap semangat jalan-jalan bersama Mas Feb Jalan-Jalan.

Comments

  1. mas sumpah aq brebes mili masss,kapan22 nek dirimu kejogja sms aq yoooo,,,aq yo asli purworejo,plandi temapti samping ketangi,,,,,

    ReplyDelete

Post a Comment

...