Petirtaan, dalam bahasa gamblangnya adalah kolam. Biasanya pada jaman dahulu kala digunakan sebagai penampung air (sumber air) suci bagi penganut kepercayaan. Oleh karenanya dikeramatkan oleh penduduk pada masanya.
Petirtaan Cabean Kunti ini punya nama lain yaitu Sendang Pitu. Entahlah mungkin disebabkan ada tujuh (pitu) sumber mata air. Tapi ketika saya ke lokasi, saya hanya menemukan lima mata air dan hanya tiga saja yang masih utuh berbentuk bangunan candi petirtaan.
|
Ada yang Habis Pakai Ini Sendang |
Mengenai kisah dan mitosnya sebenarnya bisa digoogling di internet. Tapi secara ringkas dapat saya ceritakan, menurut mitosnya pada jaman dahulu ada pemuda bernama Joko Bandung (bukan Bandung Bondowoso lho ya) yang mencintai seorang wanita bernama Dewi Kunti. Ceritanya sih mirip-mirip sama cerita Roro Jonggrang. Tapi kalau Dewi Kunti ini minta dibuatkan tujuh pemandian dan sembilan sumur. Sayangnya tuh dewi tidak minta dibuatkan 16 pemancingan. :)) Hehehe. Mengenai keberhasilannya si Joko Bandung, saya juga tidak tahu persisnya karena ini hanya cerita mitos dan dongengnya.
Kalau sejarahnya, menurut penuturan dari berbagai sumber sih katanya petirtaan ini dibangun pada masa dinasti Syailendra oleh Ratu Dyah Wawa. Tapi keterangan mengenai siapa yang membangun dan tujuannya untuk apa masih belum jelas benar. Hanya berdasarkan perkiraan-perkiraan usia batuannya saja. Selain itu, situs ini juga menurut
info masih berhubungan dengan situs Candi Lawang di desa Sumbung dan Candi Sari di desa Jombong.
|
Jangan Mencelupkan Cucian di Sendang. Hormati Orang Lain. (Pertanda bahwa Petirtaan Masih dipergunakan Warga Sekitar) |
|
Saya Mengagumi Sistem Selokannya |
Terletak di desa Cabean Kunti, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, membuat sumber mata air di petirtaan ini sedingin air kulkas (kalau tidak percaya, datang aja kesana deh). Apalagi pas saya kesana waktunya antara bakda Ashar ke menjelang Maghrib. Karena letaknya yang disekitaran rumah penduduk, sehingga situs ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Malah waktu saya kesini, saya berasa seperti sedang menyasar dan kembali ke masa era Mataram Kuno. Di kanan-kiri situs petirtaan yang terlihat hanya pepohonan tinggi-tinggi dan yang bikin saya cengengesan dalam hati karena saya merasa ada yang mengawasi saya dipohon-pohon tersebut disaat saya ambil gambar-gambar petirtaan disana.
|
Mejeng dulu di Depan Salah Satu Kolam |
|
Batuan-Batuan yang Baru Bisa Dikenali Dengan Mudah |
Situs petirtaan Cabean Kunti ini kalau saya lihat sekilas sebenarnya sudah tidak asli 100%. Banyak batuan tambahan baru yang digunakan untuk menopang batuan lama. Hal ini terlihat dari bentuk dan gaya ciri bebatuannya. Yang menarik bagi saya dari petirtaan ini adalah relief-relief kehidupannya. Ada relief burung-burung, manusia (mayoritas menggambarkan ibu-ibu). Saya jadi teringat dengan relief kinara-kinari di candi Borobudur dan candi Prambanan. Gaya ukiran reliefnya seolah timbul atau seolah-olah itu bukan relief, melainkan patung yang ditempelkan.
|
Banyak Orbs Beterbangan |
|
Relief-Relief Burung |
|
Relief Penggambaran Manusia |
|
Berlumut |
|
Jembatan yang Saya Maksud. (Banyak orbs Lagi) |
|
Batu Besar dan Orbs |
|
Tugu Dukuh Cabean Kunti |
Menurut penuturan istri saya, sewaktu kecil dulu dia biasa mandi pagi dan sore di petirtaan ini. Dan memang sudah sejak lama petirtaan ini dimanfaatkan oleh warga sekitar. Hal ini terlihat dari dipasangnya pompa-pompa modern dan kolam tampung untuk menampung air.
Bagi yang ingin mendatangi situs ini, rutenya dari Boyolali ambil ke arah Pasar Ampel. Sampai di pasar Ampel naik bus jurusan Cepogo, turun di Cabean Kunti. Kalau bertemu warga silahkan bertanya mengenai arah tugu Cabean Kunti yang letaknya seingat saya dekat dengan lapangan. Nah dari lapangan itu lurus ke arah tugu Cabean Kunti sampai bertemu jembatan. Situsnya ada di kanan-kiri jembatan tersebut. O iya, hampir lupa saya kasih tahu. Di foto-foto petirtaan yang menggunakan blitz, foto-foto orbs (bulatan-bulatan cahaya) banyak tertangkap kamera. Berartiii.... .
Tetap semangat jalan-jalan bersama Mas Feb Jalan-Jalan.
Comments
Post a Comment