Saya Merasa Tidak Nyaman Berada di Aceh...

Tidak sabar saya ingin menulis ini. Judul diatas benar-benar ingin saya kemukakan kepada pembaca karena apa yang saya lihat dilapangan ketika atas ijin Allah, saya dapat menginjakkan kaki dibumi Serambi Mekkah.


Setelah hampir 10 tahun dari bencana tsunami Aceh, kehidupan boleh dikatakan sudah kembali berjalan normal. Segala kegiatan dan aktivitas penduduk di Aceh sudah seperti biasanya. Barangkali mereka sudah melupakan trauma akan kenangan mengenai tsunami itu. Mulai dari bandara hingga tempat yang saya kunjungi, di kabupaten Aceh Besar, sudah tidak tampak bekas-bekas masa lalu.


Pagi Menjelang Siang
Tapi saya sedikit terpana ketika pertama tiba dibandara, kemudian naik taksi hingga tiba dihotel ditempat biasanya teman kami bermalam. Dari keterpanaan saya, berubah menjadi rasa tidak nyaman. Biasanya bila saya bepergian dan merasakan ketidaknyaman, ada beberapa hal yang menyebabkannya. Penyebab yang paling umum pertama adalah karena kegiatan 'mahkluk tak kasat mata'. Penyebab kedua adalah karena orang-orangnya. Lalu yang ketiga biasanya karena hal lain (bingung sebenarnya dengan apa yang saya ingin jelaskan).

Pada saat di Aceh ini saya merasakan ketidaknyamanan disebabkan dua hal: yang tak kasat mata dan orang-orangnya alias penduduk disana. Ini adalah kunjungan pertama saya ke Aceh. Saat dibandara, ketidaknyamanan berasal dari orang-orangnya. Rasa tidak nyaman tersebut berlanjut hingga tiba dihotel. Ketika tiba dihotel, penyebab rasa tidak nyaman bertambah. Bukan hanya dari penduduk disana, tapi juga dari hal-hal yang tak kasat mata. Entahlah, mungkin karena daerah tempat saya bermalam adalah salah satu spot yang dahulu terkena tsunami sehingga 'radar' saya juga ikut merasakan bekas-bekas peristiwa tahun 2004 tersebut.

Btw, hotel tempat saya dan teman menginap adalah di hotel Medan. Kalau pembaca googling hotel Medan, pembaca akan menemukan bacaan dan foto yang terkait hotel Medan dengan dampak tsunami.

Hotel Medan Tak Lama Setelah Tsunami (sumber: Kompas)
Sore pun menjelang dan saya iseng-iseng jalan-jalan sore untuk mengenal 'penghuni' asli disana. Tak perlu jauh-jauh, saya pun sudah menemukan mengapa saya merasa tidak nyaman berada disana. Masyarakat disana, meskipun tidak semuanya, punya kebiasaan yang saya bilang jauh dari kesan serambi Mekkah. Mahjong, kartu, catur  dan permainan sejenis sudah menjadi kegiatan harian. Dari pagi hingga malam hingga pagi lagi, permainan tidak berhenti. Seakan-akan mereka tidak membutuhkan makan. Yang mereka butuhkan hanya permainan-permainan itu, rokok serta kopi.
Siang Menjelang Sore

Saat adzan Maghrib pun tiba dan saya sudah kembali berada didalam hotel setelah sebelumnya ketika berjalan dikawasan terminal saya sempat diawasi oleh beberapa orang. Mungkin mereka mengira saya wartawan atau intel yang sedang mencari bukti dan akan menangkapi orang-orang yang berjudi menggunakan permainan-permainan seperti yang sudah saya sebutkan tadi. Mereka sedikit benar, tentang bukti. Saya memang mencari bukti, tapi bukan untuk menangkap mereka atau melaporkannya ke pihak berwenang. Saya mencari bukti supaya saya dapat berpikir mendalam dan mengambil hikmah dari apa yang saya tangkap dengan pendengaran, penglihatan dan lensa kamera saku saya.

Comments

  1. Dirimu ini nginep di kawasan preman po Mas? Kalau di pusat kota Banda Aceh sendiri apa ya kayak gitu semua kelakuan warganya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Rokok-kopi dan ngumpul2 sudah menjadi keseharian mas. Menurut info dari teman kami yang asli Aceh demikian. Info lain dari teman, disana warga asli Aceh yang bekerja justru yang perempuan. Lelaki kesehariannya ya ngumpul2, ngopi, ngerokok. Sewaktu disana, yang bisa dikatakan merepresentasikan Serambi Mekkah ya hanya dimasjid Baiturrahmannya. [-(

      Delete
    2. Bukankah di Aceh berlaku perda Syariah ya Mas? Apa penerapan di sana tidak setegas seperti yang diberitakan di media-media? Saya merasa hal-hal yang dirimu ceritakan ini mencerminkan Aceh sebagai "kota Preman", hahaha. Jadi kurang sreg rasanya singgah di Aceh. Tapi apakah memang di sana itu memang benar-benar rawan menurut pandanganmu?

      Delete
    3. Perda syariah memang ada. Tapi aparat2 yg melaksanakannya jg msh brgantung pd anggaran daerah mas. Pemda prov msh membutuhkan anggaran utk kegiatan disektor lain shingga utk pelaksanaan perda syariah (penertiban, eksekusi hukuman, dsb) tidak dianggarkan. Hanya ketika awal2nya saja. Rawan memang mas. Dari kepala kantor cabang Aceh institusi tmpt saya bekerja, saya pun baru tahu stlah beliau bercerita bhwa taksi disana pun suka sembarangn ksh tarifnya. Hal negatif smakin brtambah ktk teman yg mengajak saya berkeliling kota Aceh brcerita bhwa tiap rumah tangga (yg asli Aceh) biasanya menanam ganja sndiri dirumah masing2 utk ditambahkn ke masakan. Walah! Saya jg diingatkan supaya hati2 bila beli makan yg berkuah, seperti gulai & sejenisnya. Meski tidak semua, biasanya bumbunya ditambhkn daun ganja. Saran dr teman, bila ke Aceh lebih mnarik ke pulau Sabang & pulau Weh. Justru bukan kotanya sndiri. (o)

      Delete

Post a Comment

...