Cerita dari Commuter Line...

Bagi warga Jakarta yang pernah bepergian menggunakan CL alias Commuter Line, mesti sudah sering melihat bagaimana suasana didalamnya. Yang sering bepergian menggunakan CL biasanya hafal jam-jam sibuk ketika banyak calon penumpang berebutan mengantri dan saling sikut masuk ke dalam gerbong supaya ikut terangkut. 

Selain hafal dengan jam-jamnya, mungkin juga hafal bagaimana perilaku dan kebiasaan penumpang yang berada didalam CL. Bila sedang penuh penumpang, kita bisa melihat dan mengalami ketika CL sedang berjalan dan tanpa kita berpegangan pun kita gak bakal jatuh. Saking padatnya semua orang menjadi tumpuan. Bila sedang agak longgar, kita jug bisa melihat penumpang-penumpang "berpenyakit". Kenapa saya beri tanda kutip? Karena kata-kata yang saya beri tanda kutip bukan menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Waduuh mas Feb mulai ngawur dan nglindur... 

Okey, begini. Suatu ketika saya pernah melakukan perjalanan dari Bogor menuju Jakarta menggunakan Commuter Line. Mendapatkan jadwal CL siang sekitaran pukul 10.30, saya naik CL jurusan Bogor - Jatinegara. Meskipun stasiun pemberangkatan awalnya dari stasiun Bogor, saya tidak mendapatkan tempat duduk karena saya tiba di stasiun 5 menit sebelum CL diberangkatkan dan penumpang yang ada sudah mengekspansi kursi-kursi yang ada. Kebetulan, CL dijam-jam segitu termasuknya longgar lho. 

Bila pembaca mencoba CL di saat agak longgar, dipastikan ada saja penumpang yang duduk langsung pasang headset. Ada yang langsung bersedekap, menyandarkan kepala dan "tidur". Atau malah sibuk dengan gadgetnya tanpa peduli sekitarnya. Kalau menurut apa yang saya dengar dari cerita teman-teman yang sehari-harinya menggunakan CL, hal tersebut sudah biasa. Maksudnya penumpang-penumpang yang model demikian memang banyak. Bahkan ada juga penumpang yang menggunakan kursi prioritas padahal itu bukan haknya. Tapi begitu ditegur oleh penumpang lain, malah yang ditegur yang lebih galak. Penumpang yang berhak seperti ibu hamil atau lansia pun cuma bisa berdiri pasrah. 

Ya begitulah di ibukota. Makanya ada slogan: "Ibukota lebih kejam daripada ibu tiri". Mungkin maksudnya di ibukota orang-orang (secara tidak langsung) diajarkan untuk menajamkan sisi individualisnya dan tidak mempedulikan keadaan sekitarnya. Kasarnya: "Asalkan bukan gue, masa bodo amat". Tapi bagaimana bisa kita berdiam saja bila kita sudah terbiasa untuk ber-empati ketika melihat kejadian-kejadian yang menurut hati nurani kita "seharusnya nggak begini nih!". Minimal meskipun kita belum mampu bertindak, pasti ada rasa kesal di hati. Mangkel, dongkol. Hingga timbul pertanyaan: kok bisa sih mereka seperti itu? Entahlah.. Mungkin karena sudah terbiasa.. 

Keadaan diluar CL pun tidak kalah miris dan menimbulkan banyak tanda tanya. Jika didalam bikin hati kesal dan dongkol, keadaan diluar malah bikin merasa bersalah, sedih, sekaligus mengernyitkan dahi. Ini ibukota yang katanya metropolitan serba wah dan megah, tapi kok kita masih bisa menemukan rumah-rumah dipinggir rel yang bertetangga dengan bangunan-bangunan pencakar langit. Ngomong-ngomong mengenai rumah di pinggir rel, kok mereka punya motor banyak dan ada yang punya parabola untuk tv kabel ya? Hadeuuh mas Feb. Postinganmu kali ini kelewat berat dan bukan untuk dinikmati...   

#Bukan kampanye politik

Comments

  1. Hehe.. Semoga kita tdk termasuk orang yg "berpenyakit"

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amiin.. Kalo kita kyknya termasuk orang yg berseragam. Hehehe..

      Delete
  2. Replies
    1. Eh.. Ada bu Nice-zila. Blogmu ibu jg bagus yg "My Thought" itu lho. Hehehe. Trims dah mampir.

      Delete

Post a Comment

...