Tahun 2016 di bulan September, ada momen yang masih saya ingat benar. Jogja lagi-lagi menjadi tempat romansa itu terjadi (haaiisshh...). Padahal hanya momen unik dan mungkin saja tidak bakal terulang lagi.
Selesai memenuhi kewajiban bekerja dimana penyelenggaraan kegiatan kantor dilaksanakan dengan sukses, beres-beres menjadi hal rutin di pagi hari. Jam di telepon genggam ketika itu sudah menunjukkan angka 09.17. Selesai sarapan dan packing sementara menunggu waktu untuk keluar "kandhang", saatnya leyeh-leyeh, istirahat sejenak karena teman sekamar saya sudah lebih dulu meninggalkan Jogjakarta menggunakan pesawat pukul 7 pagi tadi. Kurang-lebih ada waktu sekitar 3 jam bila berangkat dari hotel pukul 10 nanti.
Belum lama leyeh-leyeh, ponsel yang saya letakkan di meja berbunyi menandakan ada pesan di aplikasi pembawa berita yang datang. Meskipun agak malas untuk mengambilnya, tapi apa boleh buat, barangkali penting. Setelah dicek, ternyata pesan dari Jakarta:
Yup! Mungkin memang intuisi saya yang terkadang tepat (walaupun kadang juga salah sih). Sebelum sempat tertidur sejenak, saya merasa mungkin lebih baik memulai perjalanan setelah packing. Alih-alih merebahkan diri kembali, saya beranjak bersiap untuk check-out dan mulai melakukan perjalanan menuju Stasiun Tugu.
Bagi penggemar jalan kaki seperti saya, waktu 3 jam dirasa lebih dari cukup untuk dipergunakan berjalan kaki sejauh 1,2 km, dari hotel di jalan Jenderal Sudirman menuju Stasiun Tugu. Selain jalan kaki juga bisa sekalian berburu dokumentasi foto maupun jelajah kulineran memberi makan cacing-cacing yang kelaparan selama di perjalanan.
Persiapan untuk perjalanan ternyata menghabiskan waktu hampir setengah jam. Berbekal air mineral dalam kemasan botol, saya pun berjalan kaki setelah sebelumnya check-out dari hotel tepat pada pukul 10 pagi.
Menyusuri trotoar di Jogjakarta bagi saya menyimpan kenangan tersendiri. Lumayan nyaman lah menurut saya meskipun saat siang hari cuaca agak terik. Berjalan kaki tidak jauh dari hotel hingga sampai di salah satu landscape ciri khas daerah ini yaitu Tugu Jogja, kemudian berbelok arah ke selatan dan tiba di Dowa. Pertama kali tiba di sini, yang terpikir pertama: bangunannya unik. Selain unik, kebetulan juga masih sepi pengunjung sehingga saya pikir dapat lebih leluasa jika ingin melihat-lihat produk-produk yang dipamerkan di sana.
Oleh karena masih sepi pengunjung, saya dapat berkeliling melihat-lihat koleksi yang ditawarkan di toko ini dari yang harganya biasa, semenjana, hingga yang harganya jutaan rupiah. Yah karena produk bahan rajut, otomatis target konsumennya tentu saja para kaum hawa dan mungkin mbak penjaga toko yang ada di ruangan merasa heran (atau tidak ya) karena yang datang dan melihat-lihat tas rajut adalah sesosok bapak-bapak berjenggot dengan jaket hoodie berwarna merah menyala. Hari makin siang, ada juga konsumen lain yang datang dan semuanya wanita! Cuma saya konsumen laki-laki yang seliweran di dalam toko. Bahkan sepanjang ingatan saya, karyawan yang bekerja di toko Dowa cabang Tugu ini sepenglihatan saya adalah wanita. Karyawan laki-laki hanya ada di cafe yang sebelumnya saya lewati ketika beranjak dari lantai dasar ke lantai dimana saya melihat-lihat produk rajutnya. Tapi karena saya agak-agak ndableg, saya tidak terlalu memikirkan kontrasnya perbedaan gender tersebut. Saya masih lanjut saja untuk terus melihat-lihat dan memfoto barang-barang yang jadi titipan untuk dibeli.
Bagi pembaca yang mau main ke Dowa yang posisinya dekat Tugu Jogja, jangan lupa kalau punya kartu Garuda (yang maskapai ya, bukan yang jualan kacang kulit dan sukro) bisa dipakai untuk dapat diskon 10% (entah untuk sekarang apakah masih berlaku diskonnya atau tidak). Mungkin saat itu karena ada kerja sama dengan maskapai Garuda sehingga saat saya masih berkeliling melihat-lihat label harga yang bergelantungan di sisi-sisi setiap tas beberapa tas rajut titipan, saya diberikan informasi bahwa dengan menggunakan kartu Garuda, konsumen dapat menikmati potongan harga dari setiap produk yang dijual di Dowa. Karena harga tas rajut di sini memang agak-agak bikin dompet saya menjerit. Tapi demi mereka yang telah minta titipan untuk dibelikan, ya tidak apa lah.
Seusai memilah dan memilih tas-tas rajut yang menjadi incaran barang titipan, saya pun melanjutkan perjalanan ke arah Selatan menuju Stasiun Tugu. Meski panas masih akan menemani sepanjang perjalanan, saya toh menikmati saja perjalanan di siang menjelang tengah hari itu. Paling penting bagi saya adalah sederhana tapi bermakna karena setiap perjalanan yang saya lakukan secara sederhana mesti memiliki makna di hati saya.
Selesai memenuhi kewajiban bekerja dimana penyelenggaraan kegiatan kantor dilaksanakan dengan sukses, beres-beres menjadi hal rutin di pagi hari. Jam di telepon genggam ketika itu sudah menunjukkan angka 09.17. Selesai sarapan dan packing sementara menunggu waktu untuk keluar "kandhang", saatnya leyeh-leyeh, istirahat sejenak karena teman sekamar saya sudah lebih dulu meninggalkan Jogjakarta menggunakan pesawat pukul 7 pagi tadi. Kurang-lebih ada waktu sekitar 3 jam bila berangkat dari hotel pukul 10 nanti.
Belum lama leyeh-leyeh, ponsel yang saya letakkan di meja berbunyi menandakan ada pesan di aplikasi pembawa berita yang datang. Meskipun agak malas untuk mengambilnya, tapi apa boleh buat, barangkali penting. Setelah dicek, ternyata pesan dari Jakarta:
"Nitip beli tas rajut di Dowa ya. Kalo gak salah di dekat tugu Jogja itu ada cabang Dowa."
Yup! Mungkin memang intuisi saya yang terkadang tepat (walaupun kadang juga salah sih). Sebelum sempat tertidur sejenak, saya merasa mungkin lebih baik memulai perjalanan setelah packing. Alih-alih merebahkan diri kembali, saya beranjak bersiap untuk check-out dan mulai melakukan perjalanan menuju Stasiun Tugu.
Bagi penggemar jalan kaki seperti saya, waktu 3 jam dirasa lebih dari cukup untuk dipergunakan berjalan kaki sejauh 1,2 km, dari hotel di jalan Jenderal Sudirman menuju Stasiun Tugu. Selain jalan kaki juga bisa sekalian berburu dokumentasi foto maupun jelajah kulineran memberi makan cacing-cacing yang kelaparan selama di perjalanan.
Persiapan untuk perjalanan ternyata menghabiskan waktu hampir setengah jam. Berbekal air mineral dalam kemasan botol, saya pun berjalan kaki setelah sebelumnya check-out dari hotel tepat pada pukul 10 pagi.
Menyusuri trotoar di Jogjakarta bagi saya menyimpan kenangan tersendiri. Lumayan nyaman lah menurut saya meskipun saat siang hari cuaca agak terik. Berjalan kaki tidak jauh dari hotel hingga sampai di salah satu landscape ciri khas daerah ini yaitu Tugu Jogja, kemudian berbelok arah ke selatan dan tiba di Dowa. Pertama kali tiba di sini, yang terpikir pertama: bangunannya unik. Selain unik, kebetulan juga masih sepi pengunjung sehingga saya pikir dapat lebih leluasa jika ingin melihat-lihat produk-produk yang dipamerkan di sana.
Tak butuh waktu lama untuk membuat kulit saya beralih warna menjadi kecoklatan akibat terbakar panasnya hawa matahari di luar. Setelah membuka pintu dan masuk ke dalam gedung berwarna putih ini, saya kemudian disambut hawa menyejukkan dari air conditioner ruangan seperti ketika kita datang dan masuk ke dalam Al**mart dan In**mart. Ruang depan toko secara sekilas pengamatan sepertinya dipergunakan sebagai ruang pamer bagi bermacam ragam aksesoris seperti anting, kalung, gantungan kunci, dan lain-lain. Bila ingin mencari tas rajut, kita mesti masuk agak ke dalam dan naik ke lantai 2 karena memang tertera tulisan petunjuk arah di sana. Di ruangan bagian atas terdapat resto yang lebih menyerupai cafe (dan saya lupa namanya). Saya tidak mampir hanya untuk sekedar mencoba minumannya atau makanannya bukan karena tidak ingin, tapi memang lebih karena dompet saya yang terasa kurus ini hanya cukup untuk memuaskan para titipers, yang nitip untuk dibelikan tas rajut.
Bagi pembaca yang mau main ke Dowa yang posisinya dekat Tugu Jogja, jangan lupa kalau punya kartu Garuda (yang maskapai ya, bukan yang jualan kacang kulit dan sukro) bisa dipakai untuk dapat diskon 10% (entah untuk sekarang apakah masih berlaku diskonnya atau tidak). Mungkin saat itu karena ada kerja sama dengan maskapai Garuda sehingga saat saya masih berkeliling melihat-lihat label harga yang bergelantungan di sisi-sisi setiap tas beberapa tas rajut titipan, saya diberikan informasi bahwa dengan menggunakan kartu Garuda, konsumen dapat menikmati potongan harga dari setiap produk yang dijual di Dowa. Karena harga tas rajut di sini memang agak-agak bikin dompet saya menjerit. Tapi demi mereka yang telah minta titipan untuk dibelikan, ya tidak apa lah.
Seusai memilah dan memilih tas-tas rajut yang menjadi incaran barang titipan, saya pun melanjutkan perjalanan ke arah Selatan menuju Stasiun Tugu. Meski panas masih akan menemani sepanjang perjalanan, saya toh menikmati saja perjalanan di siang menjelang tengah hari itu. Paling penting bagi saya adalah sederhana tapi bermakna karena setiap perjalanan yang saya lakukan secara sederhana mesti memiliki makna di hati saya.
Comments
Post a Comment